Badan Eksekutif Mahasiswa Indonesia Yaman

Selasa, 29 November 2011

Di Balik Tuntutan Perubahan atau Pencabutan UU tentang Penodaan Agama di Indonesia

Penulis: Afdal Darsil Abdulla

Memang sudah menjadi Sunnatullah bahwasanya sampai kapanpun Islam akan tetap dimusuhi. Islam akan tetap “dipreteli”, akan tetap “disentil”. Dan itu akan tetap terjadi kapan saja dan dimana saja. Dimulai dari zaman kenabian sampai sekarang, tidak hanya di Arab, Eropa, Amerika bahkan di Indonesia, di negara kita sendiri. Di Indonesia, bagi yang sering mengikuti  berbagai perkembangan yang terjadi disana atau apa saja yang sedang hangat dibicarakan tentu tahu bahwa masa-masa sekarang (masa-masa yang berawal ketika Dr. Harun Nasution mulai melancarkan misinya yaitu ingin memu’tazilahkan IAIN (yang kini telah berganti nama menjadi UIN) pada khusunya dan perguruan tinggi Islam lainnya pada umumnya - sampai saat ini) merupakan masa-masa yang berat bagi Ummat Islam di Indonesia. Masa-masa dimana Islam dicekik dan diancam dari berbagai sisi. Terbukti berbagai upaya telah dilakukan, berbagai pernyataan yang menyudutkan dan menyakitkan sering dilontarkan, pemikiran-pemikiran yang nyeleneh dengan semangat  diajarkan. Oleh berbagai pihak, baik yang mempunyai kepentingan atau andil atau hanya sekedar ikut-ikutan, baik dari pihak noni (non Islam) yang tidak senang dengan keberadaan dan ke-eksistensian Islam dan kesempurnaan ajarannya atau bahkan dari saudara kandung sendiri, terutama pemimpin-pemimpin atau sarjana-sarjana Islam yang mengaku-ngaku sebagai pembaharu dalam Islam (yang dalam buku 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia para pembaharu ini dibagi dalam 3 bagian. Bagian pertama yaitu Para Pelopor,terdiri dari 8 orang termasuk di dalamnya Dr. Harun Nasution, Cak Nur dan Gus Dur, bagian kedua yaitu Para Senior, 3 orang diantara mereka yaitu Ahmad Syafi’i Ma’arif, Alwi Abdurrahman Shihab dan Said Aqiel Siradj, kemudian Bagian ketiga yaitu Para Penerus Perjuangan, yang di dalamnya terdapat dua orang yang sangat terkenal karena “ide-ide” mereka yaitu Ulil Abshar Abdala dan Siti Musdah Mulia, yang mempelajari Islam tetapi bukannya mendukung dan membantu berdirinya Islam yang kaffah malah kemudian balik mencemooh agamanya sendiri, mencerca dan mengatakan Islam tidaklah relevan lagi, tidak up to date, tidak lagi sesuai dengan zaman sekarang, mesti dirombak, mesti direkonstruksi kembali, diperbaharui dan disesuaikan dengan selera mereka. Tingkah polah para tokoh, baik itu individu ataupun kelompok atau lembaga dan berbagai pernyataan mereka yang kontroversial memang selalu membuat kita geram.
Baru-baru ini beredar pemberitaan di berbagai media mengenai sidang uji materi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama di Mahkamah Konstitusi (MK). Dimana disebutkan bahwa sejumlah LSM ternama dan tokoh di Indonesia seperti LSM Imparsial, Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi HAM dan Demokrasi, Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Gus Dur, Musdah Mulia, Dawam Raharjo dan Maman Imanul Haq, meminta kepada Mahkamah Konstitusi (MK) agar mencabut atau mengubah Undang-Undang  Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama karena dinilai telah bertentangan dengan prinsip toleransi, keragaman, dan pemikiran terbuka, diskriminatif antar agama, membatasi serta bertentangan dengan jaminan kebebasan beragama seperti yang terdapat dalam UUD 1945. Atau lebih tepatnya  Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama bertentangan dengan HAM (Hak Asasi Manusia).
Terang saja permintaan yang terkesan dipaksakan dan diada-adakan ini mengundang protes dari berbagai kalangan dan tokoh Islam. Tidak hanya itu saja penolakan juga datang dari kalangan atau golongan non Islam, sekalipun maksud dan tujuan mereka berbeda.
Dari pihak Islam sebut saja Menteri Agama Suryadharma Ali, dimana beliau juga mewakili pihak pemerintah, mengatakan bahwa pencabutan UU Penodaan Agama seperti yang diupayakan sejumlah LSM melalui uji materi kepada Mahkamah Konstitusi bila dikabulkan maka berpotensi menimbulkan keresahan dan kekacauan di masyarakat (sebagaimana yang diberitakan dalam situs ANTARA, 4 Februari lalu).
"Jika hal terkait penodaan agama tidak diatur, maka dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik horizontal, memicu keresahan dan disintegrasi bangsa.” Beliau  juga menegaskan, bila di Indonesia tidak terdapat UU Pencegahan Penodaan Agama maka hal itu juga akan menimbulkan hilangnya jaminan perlindungan hukum dari pemerintah terhadap berbagai agama di Tanah Air. Apalagi, bila pencabutan UU tersebut dilakukan maka seseorang atau sekelompok orang juga bisa bebas untuk menodai ajaran agama tanpa terkena hukuman apa pun.
Kemudian dalam situs yang sama, Sekretaris Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu (Matakin) Uung Sendana dari golongan non Islam mengatakan, UU Penodaan Agama jangan dicabut sebelum adanya UU baru yang benar-benar bisa menghargai keberadaan agama-agama minoritas di Tanah Air.
"Kami menolak pencabutan UU Penodaan Agama sebelum diterbitkan undang-undang baru yang menghargai hak-hak agama yang jumlah pemeluknya sedikit," kata Uung dalam sidang uji materi UU Penodaan Agama No 1/PNPS/1965 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Rabu. Karena menurut dia jika UU tersebut dicabut maka yang akan menderita adalah mereka atau agama lain yang memiliki pengikut dengan jumlah yang sedikit.
Namun tidak begitu dengan Pdt Rinaldy Damanik. Pendeta agama Kristen Protestan dari Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng) ini setuju dengan dirubah atau dicabutnya UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama dan mengatakan, undang-undang itu tidak diperlukan jika semua umat sadar dalam beragama.
"Penodaan terhadap agama itu tidak akan terjadi kalau semua umat beragama sadar. Semua agama kan menganjurkan perdamaian." Damanik juga mengatakan, UU penodaan agama yang sedang diuji materikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut hingga kini masih ngambang karena bagian mana saja yang akan direvisi belum tersosialisasi dengan baik. Mantan terpidana konflik kerusuhan Poso itu mengatakan, terjadinya kekacauan baik internal umat beragama maupun antar umat beragama karena masih lemahnya pemahaman terhadap substansi agama (ANTARA, 12 Februari).
Tentu saja apa yang mereka lakukan ini adalah salah satu bentuk penyerangan tersembunyi terhadap kehidupan beragama. Karena jujur saja, apabila UU mengenai penodaan agama itu dirubah atau bahkan dicabut tentu akan menyebabkan suburnya pertumbuhan berbagai kelompok atau sekte yang membawa ajaran baru atau kelompok yang mendakwahkan agama yang sama tapi dengan versi baru. Semisal Lia Eden dengan agama Salamullah nya, Ahmadiyah, atau yang terbaru yaitu ajaran AKI (Amanat Keagungan Ilahi) di Sumsel, atau aliran Satria Piningit Weteng Buwono yang menyuruh pengikutnya melakukan seks bebas layaknya suami istri sebagai bentuk bukti kesetiaan mereka terhadap ajaran. Dan terlebih lagi, jika pencabutan UU itu benar-benar terjadi, sudah dapat dipastikan, yang paling keras tepuk tangannya tentulah dari kelompok JIL dan kelompok liberal sekuler lainnya beserta para sarjana Islam yang satu fikrah dan “satu jurusan” dengan mereka. Karena tidak akan ada lagi pijakan hukum yang kuat yang akan merintangi jalan mereka dan secara tidak langsung juga akan menjadi semacam pe-legitimasi-an dan pengukuhan keberadaan kelompok dan pemikiran mereka yang sesat dan menyesatkan itu di bumi Indonesia.
Namun, terlepas dari pro dan kontra berbagai pihak tentang perubahan atau pencabutan Undang-Undang mengenai penodaan agama ini tentu kita mesti tahu dan menyadari bahwa ada satu skenario besar yang sedang dirancang di Indonesia untuk menghancurkan Islam. Untuk mematikan pergerakan agama yang terbesar pemeluknya di Indonesia ini. Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa sekarang adalah zamannya globalisasi, zaman dimana Barat begitu mendominasi hampir di seluruh lini kehidupan, zaman dimana kebebasan menjadi idola dan dijunjung tinggi. Zaman dimana orang merasa bebas dan merasa boleh melakukan apa saja. Zaman dimana muncul disana-sini berbagai macam ulama karbitan yang mengaku-ngaku sebagai pemikir, cendekiawan dan pembaharu dalam Islam, kemudian dengan berlindung di balik baju HAM berusaha mempengaruhi dan menanamkan pemikiran yang mereka dapatkan dari Barat dan berusaha merombak agama yang seharusnya dilindungi dan diperjuangkan. Berbagai cara akan mereka upayakan agar niat dan maksud tercapai. Salah satunya adalah desakan kepada Mahkamah Konstitusi agar merubah atau mencabut  UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama ini.
Kita sebagai du’at yang nanti akan terjun ke tengah-tengah masyarakat mau tidak mau atau suka tidak suka akan berhadapan dengan mereka dan sebagai individu muslim kita harus benar-benar memahami pola fikir mereka, memahami pergerakan dan maksud dari setiap hal-hal yang terjadi di dunia perpolitikan Indonesia yang berbau agama. Para “pemikir dan pembaharu” yang dengan retorika mereka dalam berbicara, dengan kecerdasan yang mereka miliki mampu “melantunkan” dalil-dalil baik itu dari Al Quran ataupun Hadist Nabi shallalloohu ‘alaihi wassalam kemudian mempengaruhi pemikiran para pemuda/i terutama dari kalangan pelajar dan mahasiswa umum yang belum begitu paham atau mereka yang setengah-setengah dalam memahami agama mereka sendiri. Untuk itu persiapan baik ilmu, mental serta kesabaran sangat dibutuhkan dalam menghadapi “musang berbulu ayam” yang satu ini, baik itu di dalam maupun di luar forum nantinya.
Wallahu a’lam

www.bemiyaman.web.id

Di Balik Tuntutan Perubahan atau Pencabutan UU tentang Penodaan Agama di Indonesia Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Lukman el-Hakim